|
Zaman sekarang, perempuan menjadi politisi, ketua umum partai, bahkan calon presiden bukan hal tabu. Pemahaman seperti itu terlihat dari semakin banyaknya jabatan publik yang diemban perempuan.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu semakin membuka peluang berperannya perempuan Indonesia dalam berbagai panggung politik nasional dengan jaminan yang sangat menjanjikan.
Dalam kepengurusan partai politik, misalnya, Pasal 8 UU Nomor 10/2008 mensyaratkan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan di tingkat pusat (DPP). Kondisi ini memberi kebebasan bergerak kepada perempuan melalui partai untuk menunjukkan idealisme dan pengabdiannya kepada masyarakat.
Gambaran yang lebih kasatmata terlihat dari ”bertebarannya” perempuan di pucuk-pucuk pimpinan partai politik. Setidaknya ada empat partai dari 38 partai resmi yang ketua umumnya perempuan. Selain Megawati Soekarnoputri yang memimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, ada Amelia Achmad Yani yang menjadi Ketua Umum Partai Peduli Rakyat Nasional. Di Partai Perjuangan Indonesia Baru ada Kartini Sjahrir yang memimpin PIB meneruskan suaminya, Sjahrir, dan di Partai Nasional Indonesia Marhaenisme ada Sukmawati Soekarnoputri sebagai ketua umum.
Peluang perempuan sebagai calon anggota legislatif pun diakomodasi UU Nomor 10/2008 melalui Pasal 53. Pasal tersebut menyatakan, dalam daftar bakal calon anggota legislatif yang diajukan partai harus memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan. Angka 30 persen ini berlaku untuk tingkat DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten atau kota.
Caleg perempuan
Dari daftar calon anggota legislatif yang sudah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum bulan Oktober 2008, keterwakilan caleg perempuan secara rata-rata mencapai 35,25 persen atau sebanyak 3.902 orang. Akan tetapi, jika dilihat satu demi satu, masih ada lima partai yang mengajukan caleg perempuan kurang dari 30 persen. Kelima partai itu adalah Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Gerindra, Partai Republikan, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Patriot.
Sebanyak delapan partai mengajukan caleg perempuan di atas 40 persen, yakni Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Persatuan Daerah, Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Matahari Bangsa, Partai Demokrasi Kebangsaan, Partai Bintang Reformasi, dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia. Partai lainnya memiliki komposisi perempuan di kisaran 30 persen.
Jika melihat potensi perempuan per daerah, tampak bahwa daerah yang paling banyak mengajukan caleg perempuan adalah Jawa Barat dengan 635 caleg perempuan (16,3 persen). Disusul kemudian oleh Jawa Timur dengan 505 caleg (13 persen) dan Jawa Tengah dengan 467 caleg (12 persen).
Daerah luar Pulau Jawa yang mengajukan banyak caleg perempuan adalah Sumatera Utara dengan 213 caleg (5,5 persen), Sulawesi Selatan dengan 151 caleg (3,9 persen), dan Sumatera Selatan dengan 123 caleg (3,2 persen).
Daerah-daerah yang sedikit mengajukan caleg perempuan untuk DPR adalah daerah yang merupakan provinsi pemekaran baru, seperti Sulawesi Barat, Maluku Utara, Papua Barat, Gorontalo, Kepulauan Riau, dan Kepulauan Bangka Belitung, dengan kisaran 20-30 caleg perempuan per daerah.
Menganalisis lebih jauh data KPU, terlihat bahwa caleg perempuan yang diajukan oleh partai memiliki kualitas yang memadai dan tidak berbeda dengan laki-laki. Jumlah caleg perempuan yang berpendidikan sarjana sebanyak 53,7 persen, sedangkan jumlah laki-laki dengan pendidikan yang sama 58,9 persen.
Jika jumlah caleg laki-laki yang menempuh pendidikan hingga pascasarjana (strata dua dan tiga) jumlahnya 24 persen, caleg perempuan dengan pendidikan yang sama sebanyak 16,7 persen. Latar belakang pekerjaan caleg perempuan pun beragam, mulai dari mahasiswa, ibu rumah tangga, pengusaha, hingga kalangan akademisi. Karena itu, tidak ada alasan untuk meragukan kemampuan dan kualitas perempuan.
Kebijakan afirmatif
Keterwakilan di kepengurusan partai dan dalam daftar caleg merupakan dukungan formal yuridis terhadap perempuan. Langkah selanjutnya menyangkut model penetapan keterpilihan caleg yang sampai sekarang masih menimbulkan kontroversi.
Jika saja Mahkamah Konstitusi tidak membatalkan Pasal 214 UU Nomor 10/2008 dan menyatakan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, sesungguhnya peluang perempuan untuk terpilih berdasarkan nomor urut kecil akan lebih besar. Hal ini dikarenakan pada kenyataannya banyak partai yang menempatkan caleg perempuan pada nomor urut kecil.
Artinya, secara substansi kebijakan, langkah afirmatif terhadap perempuan sebenarnya telah dimulai sejak di tingkat partai. Dari data KPU diketahui bahwa terdapat 506 caleg perempuan yang ditempatkan oleh partai di nomor urut satu pada seluruh atau 77 daerah pemilihan.
Dengan fakta keputusan MK tersebut, jika tidak diikuti kebijakan afirmatif, memang peluang perempuan duduk di parlemen cenderung ”terancam”. Hal ini disebabkan ”modal” untuk merebut suara sebanyak-banyaknya akan menjadi kerja ekstra keras dilihat dari sisi perempuan.
:1:
BalasHapus